Jamaluddin Al-Afghani adalah seorang pemikir pembaharu Islam yang dikenal karena gagasannya tentang kebangkitan umat Islam melalui persatuan.
Ia melihat bahwa kemunduran dunia Islam bukanlah karena ajaran Islam itu sendiri, melainkan karena umat meninggalkan nilai-nilai asli Islam dan membiarkan diri mereka terjebak dalam sikap statis, fatalisme, dan keterbelakangan.
Al-Afghani mengkritik keras kondisi internal umat Islam pada zamannya. Ia menilai bahwa umat sudah jauh dari ajaran Islam yang murni, kehilangan semangat intelektual, dan kurang usaha untuk mencerdaskan diri, baik dalam bidang agama maupun ilmu pengetahuan.
Ia juga menyoroti kesalahpahaman terhadap konsep Qadha dan Qadar yang membuat banyak orang pasrah pada nasib tanpa berusaha mengubah keadaan.
Lemahnya ukhuwah (persaudaraan sesama Muslim) serta kesalahan dalam politik seperti pemerintahan yang absolut, pemimpin yang tidak amanah, dan pengabaian kekuatan militer – semakin memperparah situasi.
Di sisi lain, dunia Barat justru tampil lebih kompak ketika berhadapan dengan dunia Timur (Islam). Semangat perang Salib, menurutnya, belum padam; ia menjelma dalam bentuk kolonialisme dan penjajahan.
Barat melihat dunia Islam sebagai lemah dan terbelakang, sehingga mereka berusaha menghalangi kemajuannya. Aspirasi umat Islam bahkan sering diejek dan dicap fanatisme.
Bagi Al-Afghani, agama bukanlah sumber perpecahan. Perpecahan hanya muncul ketika agama dieksploitasi oleh mereka yang mencari keuntungan pribadi yang ia sebut sebagai “pedagang agama”.
Ia menegaskan bahwa agama mengajarkan nilai-nilai fundamental: manusia sebagai makhluk spiritual, iman yang membawa keunggulan, dan kesadaran bahwa kehidupan dunia hanyalah persiapan menuju kehidupan akhirat.
Dari agama pula lahir nilai sosial yang penting: kerendahan hati, kejujuran, dan sifat dapat dipercaya tiga hal yang menjadi dasar masyarakat yang sehat.
Al-Afghani memandang Qadha dan Qadar sebagai ketentuan Allah yang tetap memberi ruang bagi manusia untuk berikhtiar.
Kepercayaan terhadap takdir bukan alasan untuk pasrah; justru seharusnya mendorong keberanian. Ia memberi contoh: ketika harta dirampas atau nyawa terancam, seorang Muslim harus berusaha melawan atau menyelamatkan diri, bukan hanya menyerahkan diri pada “takdir”.
Ia juga mengkritik paham sufisme yang mendorong pengikutnya menjauhi kehidupan dunia demi mencapai fana dan baqa.
Menurutnya, fana seharusnya dimaknai sebagai keterlibatan aktif dalam masyarakat untuk kepentingan bersama, bukan mengasingkan diri.
Jiwa yang dekat dengan Allah seharusnya dibawa ke tengah masyarakat untuk memberi manfaat.
Bagi Al-Afghani, tidak ada satu pun prinsip Islam yang bertentangan dengan akal dan sains. Kemajuan Barat, menurutnya, lahir dari pengembangan ilmu pengetahuan.
Ia mendorong umat Islam untuk belajar dari Barat, menguasai ilmu pengetahuan, dan tidak membeda-bedakan antara “ilmu Islam” dan “ilmu Barat”.
Puncak pemikiran Al-Afghani adalah Pan-Islamisme sebuah paham yang bertujuan menyatukan seluruh umat Islam di dunia untuk melepaskan diri dari kendali asing.
Awalnya, ia mendorong nasionalisme kebangsaan, tetapi kemudian ia memperluas gagasannya menjadi nasionalisme agama yang menekankan persatuan politik umat Islam.
Pan-Islamisme memiliki dua pilar utama:
Bagi Al-Afghani, langkah pertama adalah penyadaran. Setiap Muslim harus menyadari pentingnya persatuan.
Setelah kesadaran tumbuh, barulah muncul motivasi, tekad, dan cita-cita untuk memperjuangkan kekuasaan yang dapat melindungi umat. Kesadaran kolektif inilah yang menjadi fondasi bagi kebangkitan.
Al-Afghani mengusulkan bentuk pemerintahan ideal berupa republik demokratis yang menghormati kebebasan berpendapat.
Kepala negara harus melakukan musyawarah (syura) dengan tokoh-tokoh masyarakat. Namun, ia menekankan bahwa perubahan pemerintahan harus dimulai dari pembenahan masyarakat.
Jiwa dan pola pikir rakyat harus dibangun terlebih dahulu, baru kemudian dapat dibicarakan bentuk sistem politik yang ideal.
Menurut Asghar Ali Engineer, gagasan Al-Afghani dijalankan dengan cara:
Gagasan ini diperkuat oleh ayat-ayat Al-Quran, seperti Ali Imran:103 yang memerintahkan untuk berpegang teguh pada tali Allah dan tidak bercerai-berai, serta Ar-Ra’d:11 yang menegaskan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah diri mereka sendiri.