Ringkasan Filsafat Cinta Eksistensialis Jean Paul Sartre
1. Pengantar Pemikiran Sartre tentang Eksistensialisme
Jean Paul Sartre menolak pandangan tradisional mengenai esensi manusia yang sudah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan atau kodrat tertentu.
Berbeda dengan benda seperti pisau yang memiliki konsep dan tujuan yang sudah ada sebelum pembuatannya, manusia tidak memiliki esensi yang sudah ada sejak awal. Sartre menegaskan bahwa:
“Eksistensi mendahului esensi”, artinya manusia pertama-tama ada, lalu secara bebas menciptakan esensi atau makna dirinya sendiri.
Manusia adalah makhluk bebas tanpa kodrat yang telah ditentukan, sehingga memiliki derajat kebebasan yang lebih tinggi dibanding makhluk lain.
Manusia bertanggung jawab penuh atas dirinya dan makna yang ia ciptakan.
2. Konsep Kunci Eksistensialisme Sartre
Konsep
Definisi dan Penjelasan
Faktisitas
Fakta-fakta tak terhindarkan dalam kehidupan manusia seperti keberadaan orang lain, kematian, waktu, tempat, dan lingkungan. Faktisitas tidak dapat dihilangkan tapi bisa dilupakan atau dimanipulasi.
Kesadaran
Yang membedakan manusia dari benda. Ada dua jenis: kesadaran pra-reflektif (langsung terarah pada objek tanpa refleksi) dan kesadaran reflektif (menyadari proses kesadaran dan objek).
Être-en-soi (Being-in-itself)
Eksistensi benda-benda yang tidak sadar, padat, dan “selesai”. Tidak aktif, pasif, dan tidak memberikan makna pada eksistensinya.
Être-pour-soi (Being-for-itself)
Eksistensi manusia yang sadar, “kosong” dan penuh celah untuk berkembang. Manusia selalu dalam proses menjadi (self-surpassing).
3. Kebebasan dan Beban Eksistensial
Manusia adalah makhluk yang bebas menentukan hakikat dirinya sendiri dan jalan hidupnya.
Kebebasan ini membawa beban tanggung jawab yang berat, karena setiap pilihan adalah milik manusia sendiri dan tidak bisa dihindari atau dialihkan ke orang lain.
Sartre menyebut kondisi ini sebagai “manusia dikutuk untuk bebas”, karena manusia tidak bisa menghindari kebebasannya meski hal itu menimbulkan kecemasan dan ketakutan.
Setiap situasi hidup memaksa manusia untuk memilih, sehingga manusia selalu berada dalam pusaran kemungkinan yang menakutkan.
4. La Mauvaise Foi (Bad Faith / Keberpihakan Palsu)
Bad faith terjadi ketika seseorang melekatkan jati dirinya pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya, sehingga melupakan kesadarannya sendiri.
Contohnya adalah orang yang bangga hanya karena identitasnya terkait perusahaan besar tempat ia bekerja, bukan karena dirinya sendiri.
Keadaan ini menjadi sumber kecemasan dan alienasi diri karena manusia menolak kebebasan dan tanggung jawabnya dengan bersembunyi di balik peran sosial atau identitas tertentu.
5. Konflik Eksistensial: “Orang Lain adalah Neraka”
Hubungan antar manusia adalah konflik karena manusia berperan sebagai subjek sekaligus objek bagi orang lain.
Orang lain mengamati, menilai, dan “mengobjekkan” eksistensi kita, sehingga mengancam kebebasan dan keaslian diri.
Analogi “lubang kunci” menggambarkan bagaimana seseorang yang merasa bebas saat sendiri berubah menjadi berperilaku sesuai yang diharapkan orang lain saat merasa diawasi.
Sartre menganggap Tuhan sebagai pengawas mutlak yang membatasi kebebasan manusia, sehingga eksistensialis harus menjadi ateis.
Kutipan Sartre:
“Jika Tuhan tidak ada, semuanya boleh” “Semuanya boleh maka pasti Tuhan tidak ada”
6. Humanisme Eksistensial Sartre
Sartre mengkritik humanisme lama yang masih menganggap ada nilai-nilai yang sudah ditentukan dari luar manusia (Tuhan, norma, realitas tertinggi).
Dalam humanisme eksistensial, manusia tidak memiliki nilai yang sudah final, melainkan harus menciptakan nilai-nilai dan makna hidupnya sendiri melalui tindakan dan keterlibatan aktif (engagement).
Humanisme eksistensial bersifat optimis dan menekankan pentingnya action (tindakan), bukan sikap pasif atau menarik diri dari dunia.
Manusia adalah makhluk yang mampu melampaui dirinya sendiri (self-surpassing) dan mengejar tujuan transenden secara bebas.
Sartre menegaskan bahwa manusia adalah satu-satunya yang dapat menyelamatkan dirinya sendiri.
7. Pemikiran Sartre tentang Cinta
Cinta adalah konflik paradoksal yang berhadapan langsung dengan kemerdekaan orang yang dicintai.
Dalam cinta, ada usaha untuk menjadikan orang lain sebagai objek (being-in-itself) pemenuh hasrat dan kebutuhan, sehingga subjek yang mencintai dan yang dicintai sama-sama menjadi objek.
Oleh karena itu, menurut Sartre, cinta sejati atau cinta tanpa pamrih tidak pernah terjadi, karena selalu ada proses saling mengobjekkan.
Cinta adalah tanda kegagalan mempertahankan diri sebagai subjek dan cenderung bertransformasi menjadi keinginan “memiliki” yang membatasi kebebasan.
Pasangan yang saling mencintai pada dasarnya “terpenjara” dalam hubungan yang halus dan tak kasat mata tersebut.
Orang yang mencintai ingin memiliki dunia orang yang dicintai secara utuh, yang menyebabkan rasa mual (nausea) karena merasa terjebak dalam dunia orang lain.
Hasrat seksual adalah upaya mereduksi orang lain menjadi tubuh atau daging semata, namun pada akhirnya hasrat ini gagal karena yang berubah juga adalah diri sendiri, bukan hanya orang lain.
Cintanya bersifat dinamis dan hadir dalam berbagai aspek kehidupannya, meskipun tidak selalu hadir secara fisik.
Cinta mengubah dirinya dan segala sesuatu di sekitarnya, dan sebaliknya, segala sesuatu juga mengubah cinta itu sendiri.
Surat ini mengilustrasikan bagaimana cinta menurut Sartre bukan sesuatu yang statis atau murni, melainkan bagian dari eksistensi yang selalu dalam proses menjadi.
Kesimpulan Kunci
Eksistensialisme Sartre menolak adanya esensi manusia yang sudah ada sebelumnya dan menegaskan kebebasan manusia sebagai pusat eksistensi.
Manusia harus bertanggung jawab penuh atas pilihan dan maknanya sendiri, tanpa bergantung pada konsep Tuhan atau nilai eksternal.
Kebebasan adalah beban dan sumber kecemasan, namun juga satu-satunya jalan menuju keaslian diri.
Hubungan dengan orang lain selalu penuh konflik karena ancaman terhadap kebebasan dan keaslian individu.
Cinta menurut Sartre adalah konflik paradoksal dan bentuk kegagalan kebebasan, yang pada akhirnya mengobjekkan satu sama lain.
Humanisme eksistensial Sartre optimis dan menekankan tindakan aktif sebagai pusat kemanusiaan.
Ringkasan ini menguraikan inti pemikiran Sartre yang berfokus pada kebebasan individu, tanggung jawab, dan konflik eksistensial dalam hubungan manusia, terutama dalam konteks cinta dan keberadaan bersama orang lain.
Nama asli saya Supriyadi dan populer Supriyadi Pro. Saya seorang Expert wordpress developer freelancer, content writer, editor. Memiliki minat besar pada dunia teknologi, sains, seni budaya, social media, dan blogging. Saya kelahiran suku Jawa, di Wonogiri, Jawa Tengah yang ahli bahasa Jawa dan seni gamelan. Silahkan hubungi saya lewat laman yang telah disediakan atau kunjungi website profil saya di https://supriyadipro.com