websejarah.com – Tari Pho adalah salah satu tarian tradisional dari Provinsi Aceh yang memiliki makna mendalam. Kata “Pho” sendiri berasal dari bahasa Aceh yang berarti ratapan atau keluh kesah.
Tarian ini menggambarkan kesedihan mendalam, terutama yang dialami oleh perempuan Aceh sebagai akibat dari peperangan, konflik sosial, dan kehilangan orang-orang tercinta.
Berbeda dari tarian tradisional lainnya yang kerap menggambarkan semangat atau kegembiraan, Tari Pho menonjolkan ekspresi duka, kesunyian, dan pengharapan.
Dengan gerakan yang lembut dan iringan musik yang sendu, tarian ini menjadi sarana untuk menyampaikan perasaan batin masyarakat Aceh, khususnya perempuan, pada masa-masa sulit.
Tari Pho lahir dari pengalaman pahit masyarakat Aceh, terutama selama masa konflik bersenjata yang terjadi selama beberapa dekade.
Konflik tersebut tidak hanya membawa dampak politik dan ekonomi, tetapi juga menyisakan luka sosial yang dalam bagi masyarakat, khususnya para perempuan yang ditinggal oleh suami, anak, atau saudara laki-laki mereka.
Tari ini muncul sebagai respons budaya atas penderitaan yang dialami masyarakat. Dalam masyarakat Aceh, seni telah lama menjadi media untuk menyampaikan pesan moral, nilai agama, hingga kritik sosial.
Maka tak heran jika Tari Pho juga menjadi bagian dari bentuk perlawanan budaya terhadap ketidakadilan dan kekerasan yang dialami.
Meskipun tidak memiliki catatan tertulis yang rinci, Tari Pho diyakini telah berkembang sejak dekade 1980-an.
Tarian ini pada awalnya hanya ditampilkan dalam ruang-ruang tertutup, seperti sanggar atau pertemuan komunitas, sebelum akhirnya mulai dikenal luas sebagai bagian dari seni pertunjukan Aceh yang mewakili suara hati perempuan korban konflik.
Tokoh-tokoh budaya lokal, termasuk para seniman perempuan, memiliki peran besar dalam menciptakan dan melestarikan Tari Pho.
Beberapa sanggar tari di Banda Aceh dan sekitarnya mulai memformalkan koreografi dan naskah musiknya agar dapat diajarkan secara turun-temurun.
Gerakan dalam Tari Pho cenderung lambat, anggun, dan mengalir, dengan posisi tubuh yang sering menunduk sebagai simbol kepasrahan.
Tangan yang terangkat lalu perlahan turun menggambarkan harapan yang pupus. Gerakan memeluk diri sendiri atau menutupi wajah menjadi simbol duka dan perasaan kehilangan.
Tidak hanya gerakan tubuh, ekspresi wajah penari juga memainkan peran penting dalam menyampaikan pesan.
Tatapan mata yang kosong atau sesekali meneteskan air mata menggambarkan perasaan batin yang tidak bisa diungkapkan lewat kata-kata.
Iringan musik dalam Tari Pho biasanya menggunakan alat musik tradisional seperti rebana, serune kalee, dan kadang-kadang alat petik seperti gambus.
Namun, yang paling menonjol adalah syair atau lagu pengiring yang berisi keluhan, doa, dan harapan akan datangnya kedamaian.
Nada yang mendayu-dayu dan syair berbahasa Aceh memperkuat suasana haru yang dibangun selama pertunjukan. Musik tersebut bukan sekadar latar, melainkan bagian integral dari narasi tari.
Bagi masyarakat Aceh, terutama perempuan, Tari Pho tidak hanya sebuah seni pertunjukan, tetapi juga menjadi media terapi emosional.
Dalam budaya yang menjunjung kehormatan dan keheningan dalam menyimpan luka, Tari Pho memberikan ruang aman bagi mereka untuk mengungkapkan duka.
Pertunjukan Tari Pho sering diadakan dalam acara budaya, diskusi perdamaian, maupun peringatan hari-hari bersejarah yang berkaitan dengan tragedi masa lalu.
Kehadirannya memberikan pesan kuat bahwa penderitaan adalah bagian dari sejarah yang tidak boleh dilupakan, namun dapat disublimasikan melalui karya seni.
Tari Pho juga memainkan peran penting dalam pelestarian budaya Aceh. Dalam dunia pendidikan, tarian ini mulai diajarkan di sekolah-sekolah seni sebagai bagian dari pembelajaran seni budaya lokal.
Selain mengajarkan teknik gerak, proses pembelajaran Tari Pho juga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, solidaritas, dan empati terhadap sesama.
Generasi muda Aceh diajak untuk tidak melupakan sejarah, tetapi juga tidak terperangkap dalam trauma. Melalui tarian ini, mereka belajar mengenali jati diri daerahnya dan memahami pentingnya perdamaian.
Seiring berkembangnya seni pertunjukan modern, Tari Pho mulai diadaptasi dalam berbagai bentuk pertunjukan teater tari kontemporer.
Beberapa koreografer muda mencoba menggabungkan elemen modern seperti pencahayaan dramatis, multimedia, dan tata panggung teatrikal untuk memperkuat pesan yang disampaikan.
Meskipun terdapat inovasi, nilai inti dari Tari Pho tetap dipertahankan, yaitu menyuarakan penderitaan dan harapan dalam bingkai kesenian yang puitis.
Pelestarian Tari Pho tidak lepas dari dukungan komunitas seniman dan lembaga kebudayaan. Pemerintah daerah Aceh telah mengakui pentingnya tarian ini sebagai bagian dari warisan budaya takbenda yang perlu dilestarikan.
Program pelatihan tari di sanggar-sanggar serta festival budaya Aceh turut mendorong eksistensi Tari Pho agar tetap hidup di tengah masyarakat.
Beberapa komunitas perempuan juga menjadikan tarian ini sebagai alat untuk kampanye sosial, seperti kampanye antikekerasan terhadap perempuan dan kampanye rekonsiliasi pascakonflik.
Tari Pho dari Aceh adalah bentuk seni tradisional yang sarat makna dan sejarah. Tarian ini tidak hanya memperlihatkan keindahan gerak, tetapi juga menjadi cerminan perasaan mendalam dari masyarakat yang mengalami luka sejarah.
Melalui gerakan dan iringan musik yang menyayat hati, Tari Pho menyuarakan ratapan nasib yang pernah dialami, sekaligus menjadi harapan akan masa depan yang damai.
Dalam konteks pelestarian budaya, Tari Pho menjadi bukti bahwa seni dapat menjadi media penyembuhan dan alat untuk menjaga ingatan kolektif.
Sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia, Tari Pho layak dikenalkan secara luas dan diapresiasi sebagai warisan budaya yang merekam sejarah dari perspektif perempuan.